Saturday, December 07, 2013

Not Just the TV Show

Long time no write, long time no write hehe. Sibuk? Awalnya sih iya sibuk nulis masterpiece yang nggak terlalu piece of master banget, sebut saja dia skripsi. Kemudian skripsi selesai, masih sibuk juga, sibuk mikir hari ini mau ngapain, besok mau ngapain, lusa mau ngapain hehe.
Sambil menunggu kegiatan, akhir-akhir ini saya rajin nonton salah satu program di stasiun televisi yang tahun ini baru mengudara. Saya suka banget sama program ini, cukup berbeda dibandingkan program sejenisnya yang sudah ada sebelumnya, ada beberapa keunikan.
Unik yang pertama, saya rasa ini satu-satunya program di jenisnya yang menggunakan narator seorang native dari daerah yang menjadi objek di setiap episodenya. Si narator ini bisa merupakan Duta Pariwisata daerah tersebut, jurnalis, fotografer, atau bahkan penduduk asli suatu kampung di pedalaman, suku aslinya. Buat saya sih ini menarik banget, saya jadi belajar berbagai macam logat, cara bicara, aksen, dan bahasa daerah hampir se-Indonesia. Dan juga, somehow, penyampaian konten dan materinya jadi lebih mengena karena orang situnya asli yang ngasih tau.
Unik juga di materi yang di-deliver­ oleh naratornya itu. Biasanya kan kalau acara sejenis lebih fokus menonjolkan keindahan alam di daerah tersebut, atau mungkin kadang budayanya juga sih. Tapi kalau di acara ini, yang saya perhatikan, sering banget yang diangkat itu bukan cerita-cerita yang pada umumnya sudah diketahui orang banyak. Contohnya pengolahan gula, kopi, bahkan sampai produksi shuttlecock yang ternyata mendunia (daerahnya daerah tempat saya praktik lapang, sebelumnya saya nggak pernah tau kalau daerah ini memproduksi shuttlecock).
Unik berikutnya adalah teknik pengambilan gambarnya. Saya bukan orang yang ngerti kamera, videografi, dan sebagainya, tapi saya sering banget terkagum-kagum sama sudut pengambilan gambar acara ini. Saya sering membahas ini sama adik saya, dia juga setuju. Kami ngerasa sudut pengambilan gambarnya kece banget, beda sama acara lain. Contohnya waktu episode yang menayangkan stingless jellyfish. Aah itu saya gemes banget sama ubur-uburnya, gemes banget banget! Di lain kesempatan saya pernah juga nonton acara sejenis yang meliput si ubur-ubur ini, adik saya nonton juga. Kami langsung komentar, kok perasaan beda ya, liat tayangan yang ini nggak bikin gemes gitu haha.
Selain unik, gegara acara ini saya juga jadi tau, banyak kok di luar sana orang-orang yang setia mempertahankan budaya daerahnya. Dan saya SALUT banget sama mereka. Dari ujung paling barat sampai ujung paling timur, selalu ada mereka yang melakukan pelestarian budaya daerah mereka dengan sepenuh hati. Dari yang belajar tarian daerah yang sulit sampai yang berbahaya, yang pakai topeng seberat hampir 50kg (nggak paham sama yang ini kuat banget), juga para sesepuh atau juga sama keluarganya yang konsisten menjaga warisan-warisan budaya daerahnya – golek, senjata tradisional, topeng reog, kain tenun, alat musik tradisional, dan sebagainya. Bukan cuma menjaga, tapi konsisten menghasilkan karya-karya budaya itu. Keren banget lah.
Saya sih cuma berharap acara ini juga konsisten memberikan pengetahuan-pengetahuan baru yang saya rasa belum banyak orang yang tau, di luar apa yang sudah mereka tau sebelumnya. Semoga lebih banyak lagi cerita-cerita dari pelosok Indonesia ini yang terdengar dan jadi pengetahuan baru buat saya – ya buat penonton yang lain juga tentunya. Baru kali ini rasanya saya suka suatu program di tivi sampai saya tulis di blog kan ya? hehehe. Sebelum terakhir, CMIIW ya kalau ada salah-salah info.
Terakhir, seperti nama acara sekaligus jargonnya, saya mau ikutan ngucapin biarpun nggak masuk tipi haha.



p.s. kalau liat playlist-nya di YouTube, klik link di atas aja :D

Saturday, September 14, 2013

Happy Pasmalima Day!

And also,

HAPPY 27th BIRTHDAY PASMALIMA
September 14th 1986 - September 14th 2013



Saturday, August 24, 2013

Bukan Kontradiksi

Pernah kah kau disugestikan untuk memiliki mimpi? Mimpi setinggi-tingginya, mimpi sebanyak-banyaknya. Kemudian beraksilah! Jangan cuma mimpi! Bentuk misi untuk mencapai visi! Kemudian si mimpi tidak hanya menjadi mimpi belaka, melainkan menjadi sebuah cita-cita.
Si ini berkata pada saat usianya10 tahun bahwa suatu hari ia akan berdiri di atas karpet merah Hollywood. Si itu berkata pada saat ia susah bahwa suatu hari nanti ia akan menciptakan penafkahan bagi orang-orang. Kemudian kita disuruh melihat betapa suksesnya mereka, betapa berhasilnya mereka, karena mereka punya mimpi.
Tapi sebetulnya apa? Mimpi itu layaknya penyakit kronis. Yang menjalar, bermula pada satu bagian, kemudian menggerogoti keseluruhan bagian. Selesai mimpi yang satu, terwujud mimpi yang dua, kemudian muncul mimpi yang tiga dan yang empat dan yang lima dan yang begitu banyak sampai papan mimpimu penuh dan kau lelah menghitungnya.
Namun memang itulah esensinya. Mimpi, cita-cita, dan harapan yang membuat kita hidup. Membuat kita bertahan. Karena kita tahu, ada si 'yang begitu banyak sampai papan mimpimu penuh dan kau lelah menghitungnya' yang harus kita raih.

-Ditulis sambil meracau di tengah hari yang panas

Sunday, July 14, 2013

Pendakian Merbabu Part 1 : Boarding

Subhanallah. Cuma itu yang bisa menggambarkan secara keseluruhan pedakian Merbabu kemarin hahaha.
Berawal dari kenekatan gue berangkat sendirian ke Stasiun Pasar Senen buat nyari tiket dan kenekatan ngambil tiket berangkat tanggal 7 malam (karena memang dapetnya tanggal segitu) padahal kabarnya awal puasa mulai tanggal 9 dan kemudian berangkatlah gue dan Ikhsan ke Yogyakarta.

Berangkat
Hari Minggu sore, tanggal 7 Juli, setelah shalat Ashar kami berangkat dari rumah, sekitar jam 3:45. Sampai di Stasiun Bogor jam 4:35. Beli tiket Commuter Line tujuan Stasiun Cikini seharga Rp4 000. Kami berangkat jam 5:10 dan sampai di Stasiun Cikini jam 6:20. Jakarta sudah menggelap, begitu turun dari tangga stasiun, kami segera belok ke kiri untuk naik metromini nomor 17. Jalanan Jakarta yang kami lalui magrib itu tidak terlalu ramai, mungkin memang bukan jalur-jalur padat, mungkin, gue kan jarang berkeliaran di ibu kota hehe.
foto sebelum berangkat sama Bapak & Mama
Kami turun dari metromini di depan Terminal Pasar Senen, lanjut jalan kaki sekitar 5-10 menit ke Stasiun Pasar Senen. Jam 7 lewat beberapa detik, kami sampai di stasiun. Kereta kami memang baru berangkat jam 10 malam, nama keretanya Progo, harga tiketnya Rp90 000, tapi gue menimbang untuk berangkat agak awal karena mau menukarkan tiket pulang yang gue pesan lewat internet. Nah, gue lupa loket penukarannya itu tutup pukul 19:00 atau 22:00, soalnya ada dua jam tutup berbeda untuk beberapa loket. Untungnya ternyata loket penukaran tiket yang dibeli online / lewat minimart / lewat pos dan sebagainya tutup pukul 22:00, sedangkan yang tutup pukul 19:00 itu loket pembelian langsung untuk pemesananan tiket keberangkatan hingga H-90.
Setelah dapat tiket untuk pulang, yaitu tiket Gaya Baru Malam Selatan yang berangkat dari Stasiun Lempuyangan jam 17:09 tanggal 10 nanti, seharga Rp110 000, kami shalat di musola yang sempit banget. Kami shalat gantian karena sambil nungguin barang. Selesai shalat, waktu baru menunjukkan jam setengah 8 lewat, masih dua jam lebih kami harus nunggu kereta. Kami duduk di depan minimart di dekat pintu utara stasiun, beli minum tambahan, camilan, sama antimo.
Ikhsan agak masuk angin, kami memang belum sempat makan malam, bawa bekal sih, tapi belum dimakan, rencana mau makan begitu sudah duduk di kereta. Jam 9:40 akhirnya kami jalan menuju peron untuk naik ke rangkaian kereta. Teman perjalanan kami saat itu adalah tim hoki UGM yang baru selesai kompetisi hoki di daerah Cikini. Empat orang yang duduk sama kami karena dapetnya memang di bangku yang 3-3, hadap-hadapan jadi bareng berenam.
Kereta berangkat jam 10 lewat satu menit. Awal perjalanan mereka rame banget, ketawa-ketawa sambil becandain salah satu teman mereka yang sepertinya memang sering jadi bahan cengan, namanya Ega. Gue ngobrol-ngobrol juga sama mereka, kebetulan Ega ini satu jurusan sama Farhan atau panggil saja dia Buluk, sepupu gue yang nanti bakal jemput dan anterin gue sama Ikhsan ke Merbabu. Rata-rata dari mereka angkatan 2011, cuma satu orang yang angkatan 2009 sama kayak gue, jadi merasa tua dan sudah kedaluarsa untuk jadi mahasiswa pfft hahaha.
Sekira jam 11, baru sampe Cikampek, Ikhsan minta plastik kemudian dia muntah gegara telat makan, ckck. Padahal tadi sebelum kereta berangkat dia sempet makan walaupun sedikit. Selesai muntah dia langsung segar dan sehat kembali. Kereta berhenti di beberapa stasiun, salah satunya di Stasiun Cirebon Prujakan, lumayan lama, hampir 40 menit.

Yogyakarta
Tanggal 8 Juli, jam 6:26 yang sebenarnya merupakan jadwal kereta sampai di Stasiun Lempuyangan, kami baru masuk wilayah Yogyakarta. Gerbong kami sudah lumayan sepi, tim hoki UGM yang duduk bareng kami sudah pindah duduk ke teman-temannya yang lain di gerbong yang sama. Gue sama Ikhsan langsung selonjor-selonjor kaki sambil memandangi matahari yang mulai meninggi di timur sana. Ada satu pasangan yang kece menyambut kami masuk Yogya, yups, Merapi dan Merbabu di kejauhan :3
Merbabu dan Merapi
Jam 7 kurang sedikit kami lewati Stasiun Tugu, gue telepon Buluk ngabarin kalau kami sudah sampai. Pas gue telepon dia baru bangun haha. Kami sampai di Stasiun Lempuyangan jam 7 lebih sedikit. Buluk sama Aul, temannya, jemput kami sekitar jam 7:45.
Kami sampai di sekret Satu Bumi, penggiat alamnya Fakultas Teknik UGM, sekitar jam 8 lewat. Di depan sekret lagi pada rame, banyak teman-temannya Buluk. Kami kenalan dan ngobrol-ngobrol. Salah satu temannya Buluk, namanya Yayan, nanya ke Ikhsan, “Namanya siapa?” Ikhsan kayaknya masih pelongo gitu, dia menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti “BAT”. Semua orang langsung mengira nama dia Bat dan semua orang pun manggil dia Bat haha. Mereka juga banyak yang ngira kalau gue adeknya Ikhsan dan ngira gue masih sekolah haha. Setelah beberapa kali orang yang nanya tingkat pendidikan gue, Buluk selalu langsung nyamber, “Heh, itu sepupu gue lagi skripsian, bukan anak sekolahan!” hahaha.
Gue sama Buluk ngomongin soal rencana pendakian. Dia ngajak satu temennya, namanya Tebe, buat ikut menemani kami mendaki. Rencananya kami mau lewat jalur Selo di Boyolali, berangkat nanti malam, lama perjalanan ke sana sekitar 2 jam. Menurut Buluk, pos pendakian Merbabu yang paling mudah aksesnya dan jalur pendakiannya juga lumayan enak itu dari Selo. Kalau dari yang gue baca-baca di blog orang sih katanya jalur Wekas itu paling pendek. Nah, Buluk bilang jalur Wekas itu start mendakinya memang sudah tinggi jadi memang paling pendek, tapi artinya akses ke pos pendakiannya lumayan sulit karena menanjaknya lumayan parah.
Sekitar jam 2 siang Tebe datang ke sekret. Tebe mengiyakan ajakan Buluk, asal berangkat setelah tarawih karena dia mulai puasa tanggal 9, sedangkan kami bertiga masih nunggu pengumuman pemerintah. Jadi rencana pun fix, berangkat setelah tarawih, sorenya kami mau belanja logistik dulu.
Sepupu gue yang satu ini, dari dulu memang jago tidur. Nggak cuma satu kali dia naik angkot terus tujuannya kelewat gegara tidur. Sama seperti sore itu, dia susah banget dibangunin buat belanja logistik. Dari rencana mau belanja sore, akhirnya gue sama dia baru belanja jam setengah 7 malam sambil nunggu Tebe selesai tarawih.
Buluk bilang dia kalau belanja makanan pasti banyak, segala macam makanan pengen dibeli. Belanja logistik kali itu kami menghabiskan sekitar Rp150 000, beli beras, air minum berliter-liter, spageti, saus spageti, nugget, cokelat seduh, oat milk, cabai, bawang, dan masih banyak lagi.
Sepulang belanja, televisi pun mengabarkan kalau menurut pemerintah, puasa mulai tanggal 10. Artinya kami bakal sahur pertama di gunung, gue nggak berani mikirin bakal gimana jadinya meskipun sebetulnya udah siap mental kalau harus puasa di gunung.
Begitu sampai di sekret lagi, kami langsung packing. Ikhsan pake tas pinjaman, beberapa barang kami tinggal di sekret supaya tidak memberatkan, karena nggak bakal dipakai juga. Jam 10:15 kami berangkat dari sekret, mampir sebentar ke kostan Aul buat ngambil sepatu yang mau dipakai Ikhsan, terus mampir buat makan malam. Kata Buluk sama Tebe sih nama tempatnya ‘burjo-burjo’ gitu, porsinya banyak banget, harganya kisaran Rp4 500-Rp6 500 (kalau nggak salah).

Menuju Selo, Boyolali
Jam 10:45, selesai makan malam, akhirnya kami berangkat menuju Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Menurut Buluk sih, transport dari Yogya ke Selo jarang, apalagi untuk ke pos pendakian Merapi / Merbabu. Kami malam itu berangkat dengan dua motor pinjaman dari Sentot sama Gale (sependengaran gue sih Gale hehe). Buluk bonceng Ikhsan pakai motor Sentot, sedangkan gue dibonceng sama Tebe. Bensin dua motor menghabiskan sekitar Rp50 000.
Perjalanan Yogya-Selo luar biasa sekali. Dingin, gelap, berkabut, menanjak, pegel, jalan berlubang, dan sebagainya. Dingin dan gelap jelas karena udah malam. Pegel karena jauh dan lama, ditambah pula motor yang dipakai Tebe sama gue, injekan buat penumpangnya cuma ada yang kanan, jadi kaki kiri gue melayang-layang selama perjalanan haha. Di tengah perjalanan, kami sempat istirahat di pertigaan gegara motor yang dipake Buluk agak bermasalah. Sambil istirahat, Ikhsan ganti sepatu yang dipinjam dari Aul. Setelah dia rasa-rasa dan dilihat ulang, ternyata dua sepatu yang dipinjamkan Aul itu berbeda, bahkan beda merk, beda warna, dan beda ukuran; yang kanan merk Karrimor warna biru, yang kiri merk Eiger warna merah haha.
Perjalanan kami lanjut setelah motornya Sentot disembur-sembur pakai air minum. Sekitar beberapa ratus meter dari pertigaan, kami mulai bisa lihat Merapi di kegelapan, di sebelah kanan jalanan yang kami lalui, gagah sekali. Tebe juga menunjukkan jalan menuju pos pendakian Merapi, belokannya di kanan dari arah kami datang. Sekitar 100-200 meter dari belokan ke Merapi, kami belok ke kiri, jalan menuju pos pendakian Merbabu di Selo.
Perjalanan semenjak dari pertigaan itu menanjak terus-terus-terus, lebih parah menanjaknya dari belokan ke pos pendakian Merbabu, sampai akhirnya sewaktu lagi mengarungi suatu tanjakan, motor Sentot mati total dan nggak bisa nyala. Motor mati itu digiring Buluk ke tempat Tebe dan gue nunggu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya gue duluan diantar Tebe ke basecamp / pos pendakian, selanjutnya liat ntar.
Gue sampe basecamp Pak Parman di Dukuh Genting, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali jam setengah 2 pagi. Tebe balik lagi buat jemput Ikhsan. Gue deg-degan nunggu mereka balik lagi, jalannya itu lho, ngeri banget, banyak bagian curam, bukan cuma menanjak biasa. Salut deh gue sama Tebe, strong woman banget!
basecamp
Setelah menunggu sekira 10 menit, gue melihat kilatan cahaya lampu motor dari bawah dan ada dua! Alhamdulillah, lega banget hahaha. Rencana kami untuk naik malam itu juga terpaksa digagalkan. Pertama karena kami masih deg-degan sama motor yang kami pikir nggak bakal bisa naik sampai basecamp, kedua pos pendaftarannya juga masih tutup, bahkan mau masuk ke ruang tempat berteduh aja dikunci. Akhirnya kami tidur di teras, gue meringkuk di salah satu kursi, Ikhsan tidur duduk di kursi lain, Tebe tidur selonjoran di kursi yang agak panjang, Buluk tidur di lantai beralaskan matras berselimutkan flysheet.

Pagi di Pos Pendakian Selo

Matahari mengalah demi kabut yang menutupi hampir sepanjang jalan aspal di depan pos pendakian. Gue sempat terbangun beberapa kali dan setiap kali terbangun pasti bergidik kedinginan. Buluk seperti biasa susah dibangunkan dari tidurnya dan sudah bangun pun berkali-kali tidur lagi. Setelah menunggu ini-itu, akhirnya jam 8:20 kami start pendakian setelah berdoa dipimpin yang paling muda, Ikhsan. Sudah siang memang, tapi kabut belum juga menguap. 
foto sebelum berangkat

Pendakian Merbabu Part 2 : Ngebut!

Pendakian
Trek awal naik-naik sedikit, kaya membelah lembah rerumputan, terus masuk hutan yang lumayan rapat tapi nggak becek. Beberapa pendakian terakhir gue adalah anggota tim yang paling muda, nah kali ini gue yang paling tua – sekaligus yang paling lambat jalannya haha. Kami sampai di Pos 1 (Dok Malang) jam 9:35, istirahat sekitar 10 menit, lanjut jalan lagi. Nggak jauh dari Pos 1, Tebe sama Buluk nunjukkin jalan shortcut yang tembus langsung ke Watu Tulis, jalannya naik turun bukit tapi pemandangannya keren kata mereka.
gerbang pendakian
Pos 1
Sebelum Pos 2, kami sempat istirahat di sebuah pertigaan dengan plang penunjuk ke Pos 2 yang dari situ berjarak 1 km. Buluk jahit tas dulu di situ. Kami cabut lagi jam 10:46. Sampai di Pos 2 (Pandean) sekitar jam 11:15, not bad lah, 1 km menanjak ditempuh setengah jam hehe. Di pos ini kami bertemu dengan satu rombongan yang juga berempat. Mereka naik lebih dulu dari kami, sekitar jam 12 tengah malam tadi. Di situ kami ngobrol-ngobrol dulu, mereka rombongan UPN yang baru turun dari Sindoro dua hari yang lalu dan langsung naik lagi ke Merbabu, ckck.
pertigaan sebelum Pos 2
Pos 2
Kami berangkat dari Pos 2 sekitar setengah jam setelah kami sampai di sana. Perjalanan kami lanjut, lepas dari Pos 2, masih trek hutan rapat. Trek dilanjut ke hutan terbuka, Tebe metik arbei yang pohonnya banyak tumbuh di sana, gue sama Ikhsan nyicip. Trek yang lumayan terbuka ini juga lumayan melelahkan. Gue memandangi trek sewaktu jalur mulai terjal, mirip jalanan dari Padabalong, Pos 3 Rinjani hoho.
sedikit trek menuju Watu Tulis
Kami sampai di Watu Tulis sekitar jam 12:40. Di sana kami masak makan siang untuk bertiga dilanjut shalat. Rombongan UPN tadi datang sewaktu gue selesai shalat. Dari Watu Tulis, hijaunya Merbabu terasa sekali, meskipun kabut masih mendominasi pemandangan di Watu Tulis. Begitu kabut tersapu, dua bukit hijau menampakkan diri, dan tentunya si gagah yang kami lihat dari jalan tengah malam tadi, Merapi memamerkan lekukan punggunannya :)
Merapi :3
hijau hijau hijau
Selesai packing dan membersihkan peralatan bekas makan, kami lanjut perjalanan jam 2:15. Rencana kami hari itu adalah nge-camp di sabana 2 lewat dikit, katanya sih tempat biasa Satu Bumi nge-camp, kemudian lanjut ke puncak besok pagi.
Dari  Watu Tulis jalannya makin mantap, mirip-mirip bukit penyesalannya Rinjani, terus dilanjut ke trek yang menanjak-nanjak parah. Gue sempat jatuh telungkup waktu lagi manjat tanah gegara kehilangan pijakan, ckck, dasar nenek haha. Selesai trek tanah yang luar biasa itu kami sempat istirahat di tempat yang luamyan lapang, Buluk tidur lagi.
Buluk tidur
sempat cerah
Kami sampai di Sabana 1 jam 3:20 setelah menjejak jalan menanjak yang nggak ada bonusnya. Angin dan kabut semakin menjadi di padang yang luas itu. Bukit-bukit tinggi kehijauan ini sekali lagi mengingatkan gue akan Rinjani, bedanya sepanjang sabana 1 Merbabu jalannya lempeng alias datar, sedangkan Rinjani, emm Rinjani emang ada datarnya ya? Cuma pas jembatan doang, hahaha.
Sabana 1
Dari trek sabana 1 yang masih datar kemudian dilanjut ke jalan yang menanjak. Sewaktu lagi menanjak, kami bertemu dengan rombongan mahasiswa kehutanan UGM yang lagi jalan turun. Tebe sama Buluk ngobrol-ngobrol sama mereka yang ternyata sebagian dari mereka kemarin arung jeram bareng Satu Bumi.
jalur menuju sabana 2
Kami melintasi Sabana 2 sekitar jam 4 sore, empat orang rombongan UPN lagi santai di antara kabut di seberang tanda Sabana 2. Kami menyapa-nyapa lagi terus lanjut jalan ke tempat camp. Sekitar 5 menit jalan dari sabana 2, kami sampai di tempat camp yang dimaksud Buluk dan Tebe. Sebetulnya muncak hari itu pun bisa kami lakukan, karena perjalanan ke puncak dari tempat kami camp cuma 1 jam, rombongan UPN itu mau muncak saat itu juga, dari Pos 2 mereka cuma bawa dua daypack. Nah, kami memutuskan nge-camp karena Tebe mau buka puasa pertama – di gunung.
Sabana 2
Kami langsung dirikan tenda dan rapikan barang lalu kami tidur nunggu magrib haha. Jam 6 kami bangun, mulai masak dan shalat Maghrib secara bergantian. Kami masak spageti dengan saus instan hot tuna. Selesai makan, mules-mules semua haha. Selesai makan kami nyantai-nyantai dulu, Buluk hampir tidur lagi sih, tapi jam 9 kami mau shalat tarawih. Gue bilang kelamaan nunggu jam 9, nanti keburu tidur, akhirnya jam 8:45 kami mulai bergerak, atur flysheet buat alas shalat, wudhu terus atur posisi.
Gue nggak pernah membayangkan bakal shalat tarawih pertama di gunung, di ketinggian sekitar 2700 mdpl. Rasanya menakjubkan banget :D Shalat wajib di gunung aja rasanya istimewa banget, apalagi shalat tarawih. Kalau menurut kami sih, naik gunung edisi tafakur alam hehe.
Selesai shalat jam 9:30, kami masak nasi untuk sahur besok pagi. Setengah jam kemudian kami tidur setelah pasang alarm jam 2 pagi untuk masak sahur.

Sahur Pertama di Gunung
Jam 2:15 tanggal 10 Juli, alarm jam tangan Ikhsan dan handphone-nya Tebe bunyi, nggak ada yang langsung bergerak. Gue masih ngantuk banget karena sedari malam cuma bisa tidur sedikit-sedikit. Biasanya kalau dengar alarm gue kan langsung gerak, kali itu nggak kuat lah. Tebe bergerak dari ujung tenda ke pintu tenda buat masak, nggak lama Tebe masak, Buluk bangun, gue lanjut tidur sampai jam setengah empat hehe.
Jam 4 kurang 15 menit kami mulai makan sahur. Menu sahur kami adalah nasi, nugget, telur ceplok, dan supkrim jagung pakai tofu. Meskipun nuggetnya keras, meskipun telur ceploknya nggak welldone, meskipun nasi masih ada yang bersisa beras sedikit, tapi sahur kami Alhamdulillah kece banget haha.
Selesai sahur kami shalat Subuh di antara angin subuh yang membekukan. Rencana awal, setelah shalat kami mau langsung muncak, karena nanti sore gue sama Ikhsan udah harus ngejar kereta ke Lempuyangan. Tapi ya seperti biasa, lagi dan lagi, harus tiduran dulu, janjinya setengah 6 berangkat.
Gue time keeper, tiduran sambil megangin jam tangan dan hampir saja ikut tertidur haha. Setelah tertidur sekira 5 menit, gue terbangun mendadak, refleks lihat jam, 5:32. Gue langsung menggebah-gebah Buluk sama Ikhsan. Buluk langsung nyahut, “Iya yuk berangkat sekarang!”

Summit Attack
Kurang lebih jam 5:40, kami mulai jalan. Kami berangkat muncak hanya bertiga, Tebe menunggu di tenda biar bisa beres-beres. Jadi pas kami balik ke tenda, kami bisa cepat mulai jalan turun. Kabut masih menemani perjalanan awal menuju puncak Merbabu, namun tidak setebal kemarin.
Sekira jam 6 pagi, di kanan kami, semburat jingga muda mulai terlihat, sunrise! Puncak Syarif di belakang kami juga masih jelas terlihat, hijau. Selepas sunrise, kabut kejam mulai turun lagi. Dinginnya nggak santai. Buluk jalan paling depan sambil sarungan yang kayak ninja-ninjaan itu, gue jalan di belakang Buluk pakai sarung tangan, Ikhsan jalan paling belakang konsisten menyembunyikan tangannya di kantung jaket.
sunrise menuju 3142
Gue mulai khawatir kami – terutama gue – jalan terlalu lama, saat itu sudah jam 6:20, seharusnya kami sudah hampir sampai, tapi gue belum lihat tanda-tanda jalan menanjak akan berakhir.
Syukur, 5 menit setelah itu, jalanan mulai berbentuk selokan kecil yang hanya cukup untuk diinjak satu kaki bergantian. Gue lihat ke arah depan, Buluk yang biasanya selalu menunggu kalau jarak dia dan gue terlalu jauh, sudah tidak terlihat. Gue lanjut jalan, menyusuri selokan kecil itu. Di atas, terlihat tanjakan berakhir.
Gue lihat Buluk melambai di atas batu di arah seberang gue muncul. Tanah lapang, beberapa batu berserakan, ada satu penanda seperti penanda pos-pos di bawah. Gue belum yakin itu puncak, gue mendekati penanda itu.
TN Gunung Merbabu – Puncak Triangulasi
my seventh summit
Gue tersenyum, jam 6:30 tepat. Gue menengok ke belakang, kepala Ikhsan muncul, gue teriak, “Poci! Yeay!” Ikhsan mengangguk dengan senyuman kecil di wajahnya.
Alhamdulillah, my seventh summit, Mount Merbabu, 3142 m asl! :D
Ini puncak keduanya Ikhsan sekaligus pertama kalinya ia berdiri di atas ketinggian 3000 mdpl. Kami berdua foto-foto – Buluk tidur lagi. Sayang kabutnya betul-betul nggak mau kompromi, selama 15 menit kami berdiri di puncak, cuma dua kali matahari muncul di balik kabut, itu pun cuma berbetuk bulatan kecil di atas puncak Kenteng Songo.
Poci's second peak
Karena cerah tidak kunjung muncul, gue memutuskan untuk tidak berlama-lama di puncak. Pukul 6:45 kami turun dari puncak ditemani kabut yang masih mengurung kami. Turun dari puncak Merbabu sedikit mengingatkan gue sewaktu turun dari puncak Kerinci. Kerudung dan bulu mata berembun saking parahnya kabut dan dinginnya udara.
puncak kali ini bertepatan dengan ulang tahun
adik gue yang merupakan kakaknya Ikhsan :)
Jam 7:20 gue sampai lagi di tenda, Buluk sudah sampai duluan, Ikhsan di belakang gue, dan Tebe baru bangun. Kami langsung bersih-bersih alat makan bekas sahur, gulung-gulung sleeping bag, dan packing.
Jam setengah 9 kami baru selesai packing, tinggal tenda yang belum masuk ke carrier Buluk. Jam 8:50 kami sudah siap dan rapi, estimasi sampai di basecamp paling telat jam 12 siang. Kami harus sampai di bawah secepat mungkin karena rencananya motor Sentot yang pingsan kemarin mau diganti oli dulu. Pastinya bakal butuh, waktu sedangkan perjalanan Boyolali-Yogya kurang lebih dua jam dan jam 5 sore gue sama Ikhsan harus sudah duduk manis menunggu kereta di Stasiun Lempuyangan.
Setelah berdoa dipimpin Ikhsan lagi, kami mulai jalan, ngebut. Nggak sampai 1 jam kami mendarat di Watu Tulis, yaitu jam 9:40, padahal kemarin Watu Tulis-Sabana 2 saja 2 jam lebih. Sampai di Pos 2 jam 10:00, rombongan UPN masih nyantai-nyantai di dalam tenda mereka. Kami lanjut jalan ngebut sampai di pertigaan Pos 2 jam 10:15, dan sampai di Pos 1 jam 10:37. Jalan udah nggak keruan, lompat sana-sini, lari sana-sini, jatuh sana-sini juga.
Sekira jam 11:10 gue ngeh kami udah masuk ke jalur awal yang nampak seperti membelah lembah rerumputan. Gue yang udah nggak tahan pegelnya kaki, merentangkan tangan ke belakang, mengunci posisi tas biar nggak loncat-loncat, terus lari ngejar Buluk yang jalan paling depan. Ikhsan sama Tebe lumayan di belakang gue.
Gue sampai di basecamp pendakian lagi sekitar jam 11:20. Yes, hanya 2 jam setengah saja dari Sabana 2 sampai basecamp, padahal kalau yang gue baca di blog orang tentang pendakian dia di Merbabu, dia turun dari Puncak Triangulasi sampai basecamp sekitar 6 jam -___-
Buluk langsung keluarin motor dari tempat penitipan di dalam basecamp. Tanpa menunggu apapun dan mengganti pakaian apapun, kami langsung turun ke kota jam 11:40. Lima menit kemudian kami ketemu bengkel pertama, kami minggir dulu buat ganti oli. Anehnya ganti olinya cepat sekali, nggak ada 10 menit udah selesai.

Pulang ke Yogya lalu Jakarta lalu Bogor
Tepat saat adzan Zuhur berkumandang, kami melanjutkan perjalanan ke Yogya. Berhubung pakaian masih kotor dari atas sampai bawah, kami memutuskan shalat di Yogya setelah bersih-bersih. Sepanjang perjalanan, gue fokus ngeliatin satu objek yang ketje luar biasa, Merapi hehehe.
hello Merapi, i'll come to ya later :3
Sebelum pertigaan tempat kami istirahat malam sebelumnya, motor yang ditumpangi Buluk dan Ikhsan sempat jatuh di dekat satu jembatan, gue panik lihat mereka. Ikhsan kakinya tertimpa motor, Buluk juga bahunya luka. Rupanya gegara sewaktu belokan menanjak, ada motor dari arah berlawanan, Buluk mengerem motor, sayangnya ada pasir di jalannya, jadilah motornya oleng dan jatuh.
Kami melanjutkan perjalanan yang diwarnai dengan motor yang ditumpangi Tebe dan gue mati nggak bisa nyala sepanjang kurang lebih 1 km (untung jalannya menurun, jadi tinggal gelosor), hujan besar yang mendadak turun, dan melewati jembatan sempit dan mengerikan pas banget angin sedang bertiup-tiup. Seru dan ngeri haha. Jam 1 siang Tebe dan gue sudah masuk DIY lagi, Buluk dan Ikhsan sudah di depan. Ternyata di Yogya kering kerontang belum hujan, sedangkan kami basah kuyup.
Kami sampai di sekret jam 2 siang dengan celana dan baju yang bahkan sudah setengah kering. Gue langsung beberes dan packing sambil nunggu Ikhsan mandi dan shalat terus kami gantian mandi. Selesai mandi masih sempat selonjoran dulu di sekret.
Jam 5 kurang kami diantar Buluk dan Eko ke Stasiun Lempuyangan. Nggak lama kami sampai stasiun, sebuah rangkaian kereta datang. Pengumuman di speaker stasiun nggak jelas menginfokan apa; nanya ke petugas jawabannya nggak nyambung, ditanya GBM kapan datang malah jawab di jalur 1. Kami berdua duduk di bangku stasiun. Gue takut kereta yang berdiam di depan kami ini ternyata adalah kereta kami, gue coba cari petugas lain terus nanya. Dan ternyata memang itu kereta kami -___-
Lari-lari gue balik ke tempat Ikhsan nunggu terus langsung naik ke gerbong terdekat. Begitu kami naik, dua detik kemudian kereta bergerak, fiuh. Kami segera bergerak menuju gerbong kami. Nggak lama kereta berangkat dari Lempuyangan, adzan magrib berkumandang, kami buka puasa pertama di kereta hehe.
Selama di kereta kami kebanyakan tidur, Ikhsan sih yang lebih banyak tidur. Kaki gue sampai kesemutan berkali-kali dijadikan alas tidur Ikhsan. Lewat dari Stasiun Prupuk, Tegal, hujan turun deras dan lama bersambung sampai entah di mana. Kereta kami melaju cepat sekali, malah kalau menurut gue agak ugal-ugalan -___- terasa sekali guncangannya. Sewaktu pulang dari Semeru gue naik kereta ini dan duduk di posisi yang mirip dengan ini pula, yaitu dekat perbatasan antargerbong, tapi gue masih bisa tidur pulas.
Kami sampai di Stasiun Jakarta Kota on time sekali, sekitar 2:15 pagi. Commuter Line menuju Bogor baru ada jam 5:57, artinya kami harus menunggu kurang lebih 4 jam untuk bisa pulang ke Bogor. Kami sahur popmi yang dibeli di stasiun dan susu ultra yang dibeli di Yogya.
Selesai shalat subuh, kami keluar lalu beli tiket Commuter Line ke Bogor seharga Rp5 000. Di dalam kereta Jakarta-Bogor kami tidur lagi. Setelah berganti angkot dua kali, kami tiba di rumah, dan pendakian ngebut kami pun selesai :)


Terima kasih buat Allah SWT yang mengizinkan kami berangkat, memberikan perlindungan kepada kami, dan memberikan pengalaman yang berbeda, serta pelajaran mengenai diri sendiri.
Terima kasih buat Bapak sama Mamah yang mengizinkan gue bawa kabur anak bontotnya ke Yogya terus dibawa mendaki ke Merbabu.
Terima kasih buat travel mate gue kali ini, sekaligus adik gue yang paling apabanget sedunia, Poci. Maaf gue sering marah-marah, abis lu bergantung sama gue mulu sih haha. Semoga hadiah masuk Smanli dari gue ini menyenangkan hahaha, semoga banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa lu ambil dari perjalanan kita kemarin ya. Maciw Pociw!
Terima kasih banyaaaaaaak sekali juga buat Farhan yang sudah menjemput, memandu, dan mengantar kami ke mana-mana, padahal pas jemput kami di Lempuyangan belom tidur malemnya haha. Terima kasih banyaaaaak juga buat Tebe yang sudah mengantarkan dan memandu kami selama pendakian, dan memboncengi gue ke dan dari Selo. Terima kasih untuk shalat tarawih nya, untuk sahurnya, untuk cerita-ceritanya. Terima kasih banyak bangetbangetbanget buat kalian berdua!
Terima kasih juga buat para anggota Satu Bumi yang menerima kami di sekretnya, meminjamkan barang-barangnya, meminjamkan motor-motornya. Sukses selalu kalian :D

Tuesday, June 04, 2013

Kenapa?

Akhir-akhir ini gue lagi pundung. Mengapa? Yah, apalagi lah alasannya kalau bukan iri hehe. Gue baru ngeh, kemarin pas gue naik gunung, rasanya jarang ada teman gue yang lagi naik juga. nah sekarang, giliran gue lagi nggak bisa ke mana-mana akibat suatu dan lain hal, kenapa tetiba semua orang naik gunung? :( Ada yang ke Pangrango lah, ke Papandayan lah, ke Cikuray lah, ke Merapi lah. Belum lagi yang punya rencana daki ke Semeru, ke Rinjani. Belum lagi orang-orang yang setahu gue dulu nggak naik gunung, sekarang udah pada mulai naik gunung. Yaudah, semua aja sana pada naik gunung! *ala pemeran antagonis* *pundung*
Tapi… Coba kenapa ya seorang Nunu kok kepikiran buat naik gunung? Gue yakin hampir semua pendaki pasti pernah merasakan saat-saat ditanya, “Lo ngapain sih naik gunung? Capek-capek naik terus turun lagi.” Kalau jaman dulu sih gue diajarinnya, kalau ada yang nanya begitu, jawab aja, “Lo coba aja naik gunung, pasti bakal tahu jawabannya,” atau kalau udah males banget ditanya begitu mulu, bilang aja  “Ya karena gunungnya ada di situ.”
Jadi, daripada pundung, gue mau mencurahkan pemikiran dan perasaan gue mengenai naik gunung deh, terutama alasan gue naik gunung. Musabab pertama gue kepikiran buat naik gunung dahulu sekali itu akibat melihat foto Bapak gue di puncak gunung Gede tahun 1995, gue liatnya nggak pas tahun ’95-nya, tapi pas udah SMP. Musabab kedua yaitu gegara melihat dua gunung yang melingkupi Bogor, dulu sih belum tahu nama gunungnya apa. Akibat dua hal inilah gue memunculkan rasa ingin tahu akan ‘kerjaan’ yang namanya naik gunung / munggah / daki gunung / apapun istilah yang dipakai orang-orang. Akibat dua hal ini pula gue sok-sokan ikut ekskul penggiat alam.
Nah itu jaman dulu, waktu masih polos, masih lugu, masih muda, masih hedonis, dan lebih aimless. Sekarang, naik gunung buat gue punya banyak makna.
Beberapa pendakian terakhir ini, terutama yang lumayan jauh-jauh, gue somehow merasa semacam terpanggil untuk mendaki, semacam panggilan hati, di luar memang ingin juga. Gue merasa inilah waktu yang memang ‘disediakan’ buat gue untuk mendaki, setelah sempat vakum naik gunung. Istilah lainnya mungkin, saat itu lah memang ‘jodoh’nya gue, rejekinya gue. Nah, entah kenapa merasa terpanggil aja gitu, merasa disuruh ke sana, jadi nggak ada ceritanya gue naik gunung karena ingin dianggap keren, ingin kaya orang lain, ingin menaklukan alam, ingin menunjukkan kalau gue begini, kalau gue begitu. NOPE.
Mendaki, buat gue dan menurut gue, juga merupakan salah satu cara gue bersyukur sama Allah. Bersyukur karena diberikan badan sehat yang sempurna, bersyukur karena diberikan alam yang luar biasa banget indahnya, bersyukur diberikan kesempatan dan waktu untuk melihat alam Indonesia yang gue nggak pernah tahu sebelum gue kenal Rinjani, bersyukur karena diberikan rejeki, dan setrilyun rasa syukur lainnya. Bener-benerMaka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’.
Mendaki buat gue juga adalah sebuah bentuk pendidikan, langsung oleh guru alam. Alam mengajarkan kita akan keseimbangan. Alam mengajarkan kita untuk mengenalinya dan hidup berdampingan dengannya. Alam mengajarkan kita untuk selalu waspada. Alam mengajarkan kita untuk selalu bersyukur. Alam mengajarkan kita untuk selalu berjuang. Alam menyadarkan kita akan kelemahan-kelemahan kita. Alam menyadarkan kita akan kekuatan-kekuatan kita. Alam membuka pandangan kita. Masih banyak jam pelajaran lain yang akan kita dapatkan, dengan berguru pada alam, lewat kelas-kelas mendaki.
Satu lagi yang bikin gue merasa naik gunung itu pengalaman yang luar biasa; shalat di ketinggian. Gue masih suka ketinggalan shalatnya, tapi shalat di gunung itu bener-bener amazingly subhanallah banget. Melawan air dingin buat wudhu, berjalan jauh buat dapat air wudhu (dan berusaha nggak flatus sewaktu jalan balik), mengeruk debu buat tayamum, menahan angin yang selalu siap menerbangkan mukena setiap saat. Shalat di pinggir danau yang di tengah-tengahnya ada gunung yang masih aktif, shalat di tanah tertinggi Jawa, shalat di tanah miring, shalat di antara bebatuan tanpa vegetasi tersisa, shalat di tepi jurang, shalat di atas kerikil-kerikil menyakitkan. Gue nggak bisa menjelaskan rasanya seperti apa. You have to feel it by yourselves, really.
Itu di antaranya alasan-alasan kenapa gue naik gunung. Mungkin nggak semuanya juga gue, tapi hal-hal di atas inilah yang bikin gue ketagihan banget naik gunung, hampa kalau belum naik gunung, dan full-battery sepulang naik gunung.
Nah, gue berusaha adil, sesuatu itu memiliki sisi baik dan sisi buruknya, manusia juga begitu. What I can tell you about mountaineering in different perspective? Pasti ada, jelas ada. Yah, kalau menurut gue sih, kembali ke orangnya aja, seharusnya bisa diantisipasi dan jangan ter-le-na. *curhat*
Semoga secepatnya gue bisa naik gunung lagi, aamiin. *ngarep pisan* *liat dompet* *makin ngarep*
Last words, bukan wiseword, cuma membuat kalimat dari apa yang pernah gue alami.

When you feel so tired but you still have to walk and you do keep walking; you’ll get your best peak :)

Monday, April 29, 2013

Traveler Wanna Be

Sebagai seseorang yang lahir di Bogor, sekolah dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, dan kuliah pun di Bogor, gue semacam terobsesi pengen keliling Indonesia. Dari kecil memang sering dibawa jalan juga sama orang tua, meskipun sekadar ke Pantai Carita atau Pangandaran. Tahun 2003 gue mulai jalan-jalan ke luar provinsi Jawa Barat, jalan-jalan paling jauh, ke Yogyakarta. Seneng banget, akhirnya keluar Jawa Barat (dulu belum ada Banten), keluar provinsi cuma ke Jakarta doang haha. Tahun 2005, umur 14 tahun, akhirnya keluar pulau Jawa, naik pesawat pertama kali. Kali itu diajak Mama ke rumah temannya di Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali. Sebagai bocah yang baru pertama kali ke Bali, jelas banget gue tersihir akan keindahan alam Bali. Dari situ pula gue mulai menyadari akan kehidupan lain di belahan Indonesia yang lain.
Tahun 2006 gue gabung sama klub penggiat alam di SMA, mulai melek sama gunung-gunung di Indonesia. Tahun 2007 sedikit menyentuh Bogor lebih dalam dengan menjejak di dua puncak gunung yang ada di sekitaran Bogor, puncak Gede dan puncak Salak. Tahun 2008 sampai 2010 nggak terlalu banyak jalan, paling sekitaran Bogor, ke Salak lagi, ke Karawang ikut lomba orienteering.
Tahun 2011, umur 20 tahun, alhamdulillah banget dikasih kesempatan menginjak tanah indahnya Indonesia yang lain, yaitu pulau Lombok. Kali itu jalan sama senior-senior di penggiat alam dalam rangka pendakian puncak gunung api tertinggi keduanya Indonesia, Rinjani. Turun dari Rinjani gue nyebrang ke salah satu pulau cantik yang ada di sekitar Lombok, bernama Gili Trawangan. Perjalanan di Lombok ini benar-benar menumbuhkan kebanggaan dan membukakan mata gue akan alam Indonesia yang dangerously beautiful sekali ini.
Satu tahun kemudian, tahun 2012, gue mendapat tugas dari kampus untuk mengabdi di salah satu desa di Kabupaten Tegal selama dua bulan. Seneng banget jadi bagian dari kehidupan damai khas pedesaan Jawa gitu, belajar bahasa Jawa, melihat langsung kehidupan petani yang mengharukan. Satu bulan pulang dari mondok, untuk pertama kalinya gue menjejak di provinsi paling ujung timur pulau Jawa. Kali itu dalam rangka pendakian tanah tertinggi pulau Jawa sekaligus gunung api tertinggi ketiga di Indonesia, Semeru. Pulang dari Semeru main-main di Pasuruan dan Surabaya.
Tahun ini, Alhamdulillah baru awal tahun udah dikasih kesempatan jalan di tiga pulaunya Indonesia, Jawa, Bali, Sumatra. Akhir bulan satu keliling pulau Jawa dan Bali, mampir di Semarang, ke Malang dan Pasuruan lagi, kemudian menjejak tanah Bali lagi. Ternyata ke Bali naik bis itu capek (pant*t) banget, tapi asiknya perjalanan darat itu bisa mampir sana sini. Sebulan kemudian, begitu pindah ke bulan 3, untuk pertama kalinya ke pulau paling barat Indonesia, ya, pulau Sumatra. Seneng banget, akhirnya bisa menginjak tanah Sumatra, udah ngidam dari jaman kapan. Kali itu dalam rangka pendakian gunung api tertinggi Indonesia, Kerinci. Pulang dari Kerinci keliling sebagian kecil Sumatra Barat, Payakumbuh, Harau, Bukittinggi, dan sekitarnya. Sejauh ini, trip Sumatra inilah yang paling kece, paling mistis, paling berkesan, dan paling gendut!
Gue jalan nggak sekadar jalan, banyak yang gue dapatkan dari setiap perjalanan. Every trip has its own story, begitu kata pepatah. Paling jelas, jalan (traveling) itu bikin kita kenal lebih baik dengan diri kita sendiri dan juga partner travel kita. Soalnya kalau jalan itu manjanya keluar, tukang ngeluhnya keluar, punya inisiatifnya keluar, dan sebagainya. Kita juga belajar kebudayaan daerah yang bermacam-macam sekali. Traveling juga pasti, pasti banget, bikin kita punya kenalan baru, baik yang cuma sekadar teman ngobrol di perjalanan, berbagi kabar trek pendakian, merger rombongan, sampai yang berlanjut jadi kesemsem hahahahaha *ga santai banget ketawanya*. Dan buat gue, traveling selalu bikin gue inget untuk bersyukur; banyak sekali yang bisa kita syukuri dalam hidup kita.
Iya, memang baru sebagian keciiiiiil banget dari Indonesia yang gue singgahi; baru 10/34 provinsi dan baru 5/13466 pulau (info jumlah pulau dari artikel NatGeo Indonesia, 08-02-2012). Pokoknya baru sebagian kecil banget lah. Cita-cita gue pengen setidaknya mampir di setiap provinsi, kalau bisa sih keliling provinsinya juga, tapi setidaknya ibu kotanya aja juga nggak apa-apa hehe.
Dari sedikit daerah yang udah gue kunjungi ini, gue udah bisa lihat betapa indah alamnya Allah SWT yang ada di Indonesia. Selain alam yang luar biasa, kebudayaan Indonesia juga unik dan beragam banget, bahasa tiap daerah juga banyak dan unik; satu bahasa daerah aja bisa punya beragam logat tergantung daerahnya. Belum lagi tradisi atau adat tiap suku di Indonesia, di luar negeri kayaknya jarang deh yang satu negara kebudayaannya sebanyak Indonesia. Pokoknya gue bangga dan bersyukur banget jadi warganya negara seindah Indonesia.
Salam lestari! *tjie*

Saturday, April 20, 2013

Tentang IKK


Siang menjelang sore tadi, selesai ngambil kenang-kenangan untuk responden penelitian bolak-balik dua kali Kebon Pedes-Pasar Anyar, gue ngobrol sedikit sama Denis, teman satu penelitian gue. 
"Kita tuh cewek-cewek kuat banget tau, Nu. Bayangin aja, 3 tahun tanpa cowok."
"Iya, Den, jadi terbiasa ya, di IKK ngga ada (banyak) cowok, jadi biasa aja ngerjain apa-apa sama cewek-cewek."
"Iya, dari dulu kita-kita aja kan."
"Eh jadi kebawa juga ke kehidupan pribadi loh. Jadi terbiasa kan, ngga ada cowok"
"Iya sih, bener. Selama masih bisa kita kerjain, ya kerjain sendiri, nggak usah minta tolong sama cowok."
Setelah kalimat Denis yang terakhir itu, teman satu penelitian gue yang lain, Amah, datang. Gue sama Amah kemudian ngangkut kardus berisi kenang-kenangan itu ke kontrakan selama kami ambil data di sana. 
Sewaktu di jalan pulang, gue melanjutkan percakapan tadi, tapi kali itu sama diri sendiri.
Di departemen atau jurusan gue ini, Ilmu Keluarga dan Konsumen, memang hampir semua isinya mahasiswi, nggak cuma angkatan gue doang, begitu pula angkatan atas-atas dan bawah-bawah. Pelaksanakan kepanitiaan ini-itu selama kuliah pun ya, ketua panitia, kepala divisinya, dan tentu anggota-anggotanya perempuan semua, bahkan kepala divisi logistik pun perempuan (baca: gue). Gue melanjutkan percakapan tadi lebih lanjut selama perjalanan Kebon Pedes-rumah.
Tiga tahun ya, iya juga sih, dari mimpin rapat, nyusun acara, penegakan disiplin, ngecek kran untuk wudhu, sampai angkut-angkut karpet kami kerjakan sendiri. Itu urusan kepanitiaan, belum lagi urusan kuliah. Angkat-angkat bambu untuk stand pameran mata kuliah ekologi, ikat-ikat, survei lokasi, dan sebagai-bagainya, itu semua kami kerjakan dengan tenaga kami, para perempuan. Iya ya, kuat dan tangguh banget cewek-cewek IKK itu, persis seperti sosok ibu, seorang yang kuat dan tangguh. Memang sepertinya takdir para perempuan di IKK itu menjadi ibu yang luar biasa. Selain kuliahnya memang seputar mengasuh anak, membentuk karakter anak, manajemen sumber daya kleuarga, menciptakan sebuah keluarga yang punya ketahanan dan kelentingan, dan masih banyak lainnya, secara tidak disadari para perempuan IKK itu tumbuh menjadi perempuan yang mandiri. Selama masih bisa kerjakan sendiri, nggak perlu minta bantuan orang lain; selama masih bisa pergi ke sana-sini sendiri, nggak perlu minta anter siapa-siapa; selama masih bisa dilakukan sendiri ya lakukan sendiri.
Mungkin memang kalau untuk urusan pekerjaan atau profesi kami nanti, nggak nyambung atau nggak sejalan sama perkuliahan kami, tapi toh semua ilmu yang kami terima itu bakal terpakai di kehidupan nyata saat udah berkeluarga nanti. Yaa, meskipun mungkin ada yang lupa-lupa dikit, tinggal liat catatan kuliah atau buka slide kuliah lagi :) 
Bukan, bukan, postingan ini bukan bentuk promosi gue biar teman-teman yang masih SMA tertarik sama IKK atau promosi buat para pria yang lagi nyari calon istri teladan *eh*. Gue cuma terpikir akan hal-hal yang gue sebutkan di atas itu karena memang itulah yang sebenarnya gue rasakan selama ini, yang sepertinya baru gue sadari.
Pokoknya semangat lah buat para ciwi IKK 46 yang lagi pada skripsian, yang lagi ngambil data, yang lagi ngolah, yang udah lagi bahas hasil mungkin. Seriously sist, seperti yang gue bilang di video Kerinci gue, S.Si menanti kita! Mangaaatsss!

Friday, March 29, 2013

The Kenise Trilogy: A Journey Note

The Quick Mystical, Kerinci
Kerinci Day 1
Kerinci Day 2
Kerinci Day 3
Kerinci Day 4
Kerinci Day 5
Kerinci Day 6
Kerinci Day 7
Credits Kerinci

The Friendly Buddy, Semeru
Semeru Day 1
Semeru Day 2
Semeru Day 3
Semeru Day 4 Part 1
Semeru Day 4 part 2
Semeru Day 5
Semeru Day 6
Semeru Day 7
Semeru Day 8
Credits Semeru

The Long Winding Beauty, Rinjani
Rinjani Day - 1
Rinjani Day 1
Rinjani Day 2
Rinjani Day 3 Part 1
Rinjani Day 3 Part 2
Rinjani Day 4
Rinjani Day 5
Rinjani Day 6
Rinjani Day 7
Rinjani Day 8
Credits Rinjani

Thursday, March 28, 2013

Waktu Tempuh ala Nunu


Alhamdulillah gue sudah berhasil menjejakkan kaki gue di tiga gunung api di Indonesia. Sejujurnya pendakian pertama dan terakhir dari ketiga gunung tersebut, sebut saja Rinjani dan Kerinci, sama sekali dadakan dan nggak ada rencana dari jauh-jauh hari, padahal lokasinya jauh-jauh dan butuh persiapan yang banyak.
Berikut ini gue rangkum waktu tempuh gue selama ketiga pendakian. Ini jalan versi gue ya, yang jalannya lemah gemulai dan kemayu hehe.

Rinjani
Sembalun Lawang – Pos 1 (Pemantauan) = 21:00-24:00 (3 jam)
Pos 1 (Pemantauan) – Pos 2 (Tengengean) = 08:30-09:30 (1 jam)
Pos 2 (Tengengean) – Pos 3 (Padabalong) = 09:30-12:00 (2.5 jam)
Pos 3 (Padabalong) – Plawangan Sembalun = 14:00-20:00 (6 jam)
Total waktu naik lewat Sembalun ± 14.5 jam (termasuk istirahat siang sekitar 2 jam)
Perjalanan summit attack = 02:30-09:00 (± 7.5 jam)
Plawangan Sembalun – Sagara Anak = 14:20-19:30 (± 5 jam)
Sagara Anak – Plawangan Senaru = 15:00-18:00 (3 jam)
Plawangan Senaru – Pos 3 (Mondokan Lokak) = 18:00-20:00 (2 jam)
Pos 3 (Mondokan Lokak) – Senaru = 09:00-12:00 (3 jam)
Toal waktu turun lewat Senaru ± 13 jam

Semeru
Ranu Pane – Ranu Kumbolo = 14:40-19:00 (±4.5 jam)
Ranu Kumbolo – Kalimati = 09:10-13:00 (±4 jam)
Kalimati – Arcopodo = 00:00-01:05 (±1 jam)
Total waktu naik ± 10 jam
Perjalanan summit attack = 01:30-06:00 (± 5.5 jam)
Arcopodo – Kalimati = 09:15-09:55 (40 menit)
Kalimati – Ranu Kumbolo = 14:45-16:45 (2 jam)
Ranu Kumbolo – Ranu Pane = 10:45-14:20 (4 jam)
Total waktu turun ± 7 jam

Kerinci
Pintu Rimba – Pos 1 = 07:10-07:50 (40 menit)
Pos 1 – Pos 2 = 07:50-8:30 (40 menit)
Pos 2 –Pos 3 = 08:35-09:20 (45 menit)
Pos 3 – Shelter 1 = 9:25-11:06 (1 jam 40 menit)
Shelter 1 – Shelter 2 = 13:05-16:50 (± 4 jam)
Total waktu naik ± 10 jam (termasuk istirahat siang sekitar 2 jam)
Perjalanan summit attack = 03:10-07:20 (± 4 jam)
Shelter 2 – Shelter 1 = 10:40-12:10 (1.5 jam)
Shelter 1 – Pos 3 = 12:40-13:26 (46 menit)
Pos 3 – Pos 2 = 13:56-14:22 (26 menit)
Pos 2 – Pos 1 = 14:37-14:51 (14 menit)
Pos 1 – Pintu Rimba = 14:51-15:11 (20 menit)
Total waktu turun ± 5.5 jam

Perbandingan waktu berangkat : summit : turun (nggak termasuk jalan turun dari puncak)
Rinjani                  = 14.5    : 7.5        : 13         = ± 35 jam
Semeru                = 9.5      : 5.5        : 7           = ± 22 jam
Rinjani                  = 10        : 4           : 5.5        = ± 19.5 jam
@nunnurul. Powered by Blogger.