Monday, September 08, 2014

Cerita tentang yang Merantau

Gegara blogwalking di beberapa blognya peserta SM-3T kemarin, jadi ingat kalau udah lama banget nggak ngeblog.
Akhir-akhir ini gue lagi kepo banget, tentang SM-3T, Raja Ampat, Kepulauan Ayau, dan Abidon. Dari mulai instagram, twitter, googling berkali-kali, blogpot, wordpress, apapun yang bisa memberikan informasi tentang hal-hal tersebut di atas. Ceritanya sih pengen tau seperti apa daerah yang akan ditinggali dia selama satu tahun ke depan, tapi kadang malah jadi sedih sendiri. Terharu sama perjuangan para guru itu melaksanakan tugasnya, dalam kondisi yang menurut gue nggak selalu mudah. Mungkin ada beberapa yang kebagian di kota yang sudah cukup maju sehingga tidak terlalu sulit untuk survive. Tapi ada juga yang ditempatkan di daerah yang betul-betul jauh dari hingar-bingar kehidupan modern; sekolah tempat mereka mengajar pun gurunya seperti antara ada dan tiada.
Sebelum gue meracau lebih jauh, gue kembalikan ke topik mengenai kemau-tau-aja-an gue untuk beberapa hal yang tadi gue sebutkan. Jadi, saat ini dia sedang bertugas, mengabdi di Papua Barat sana, tepatnya di Distrik Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat. Awalnya dia sempat diwacanakan akan ditempatkan di Nunukan, Kaltara. Gue udah siap-siap minta dia foto pake kata 'Nunu' haha; ternyata jadilah dia menginjakkan kaki di tanah Papua, di salah satu daerah paling femes pula. 
SMP Persiapan Abidon, Kepulauan Ayau. Di sana dia ditugaskan selama kurang lebih satu tahun. Pas pertama kali dia memberi kabar kalau dia ditempatkan di Kepulauan Ayau gue agak syok, karena, you can google it (or see the map below), Kepulauan itu paling ujung atasnya Raja Ampat, di atas Waigeo tapi ke sono lagi. Jauh sekali, betul deh. Menurut teman gue yang pernah diving di Raja Ampat, Kepulauan Ayau bukan salah satu destinasi wisata, untuk menuju lokasinya pun sekira setengah hari naik kapal. Dan kabarnya sinyal di sana entah ada apa nggak, kemungkinan nggak ada. Gue menghela napas berat, beneran ini, setahun tanpa sinyal, ya ampun. Dua minggu ditinggal karantina tanpa komunikasi aja rungsing wae, ini setahun.
Alhamdulillah gue diberikan rasa penasaran; sebetulnya kayak mana kondisi di Kepulauan Ayau itu. Setelah googling-googling lagi, dan juga hasil nanya sama dia yang nanya sama orang sana, dapet beberapa info yang melegakan, tapi juga dapet info yang bikin sedih. 
Destinasi wisata, ada kok beberapa sumber yang menuliskan Kepulauan Ayau sebagai salah satu tujuan para turis. Sinyal, ada insya Allah. Perjalanannya - menurut info yang dia dapat - sekira 8-9 jam dari Sorong, bukan dari Waisai yang merupakan ibu kota Kabupaten Raja Ampat. 
Artikel lain, di sana panas sekali, mataharinya ada tujuh. Bahan makanan di sana agak sulit, harus bawa dari kota. Terakhir, ada berita yang menyebutkan bahwa seorang guru di Ayau untuk mengambil gajinya ke kota harus menghabiskan biaya 7 juta.
Meskipun begitu, apapun yang akan dia hadapi, gue yakin sepenuhnya dia pasti mampu menjalaninya dengan baik. Seperti yang selalu dia bilang sama gue, "Keadaan seperti apapun ya hadapi aja, ini memang udah tugas aku". Gue yakin dia pasti akan memberikan yang terbaik buat anak-anak di sana selama setahun dia mengabdi di sana. 
Setelah kurang lebih dua minggu di Papua, hari Sabtu 13 September 2014 nanti (two days after his 24th birthday, yes) dia berangkat menuju Kepulauan Ayau. Rekan-rekan dia yang ditempatkan di  provinsi lain sebagian besar sudah mulai mengajar semenjak tiba di lokasi penempatan, sedangkan dia sampai lokasi penempatan aja belum - kendala transportasi yang kabarnya kapal ke Ayau cuma ada satu minggu sekali.
Wish him luck, get home safely, healthily, and succeed. Can't wait to see him sekeling apa next year hihihi.

Ayau Archipelago is in red circle. Source 
@nunnurul. Powered by Blogger.