Saturday, December 07, 2013

Not Just the TV Show

Long time no write, long time no write hehe. Sibuk? Awalnya sih iya sibuk nulis masterpiece yang nggak terlalu piece of master banget, sebut saja dia skripsi. Kemudian skripsi selesai, masih sibuk juga, sibuk mikir hari ini mau ngapain, besok mau ngapain, lusa mau ngapain hehe.
Sambil menunggu kegiatan, akhir-akhir ini saya rajin nonton salah satu program di stasiun televisi yang tahun ini baru mengudara. Saya suka banget sama program ini, cukup berbeda dibandingkan program sejenisnya yang sudah ada sebelumnya, ada beberapa keunikan.
Unik yang pertama, saya rasa ini satu-satunya program di jenisnya yang menggunakan narator seorang native dari daerah yang menjadi objek di setiap episodenya. Si narator ini bisa merupakan Duta Pariwisata daerah tersebut, jurnalis, fotografer, atau bahkan penduduk asli suatu kampung di pedalaman, suku aslinya. Buat saya sih ini menarik banget, saya jadi belajar berbagai macam logat, cara bicara, aksen, dan bahasa daerah hampir se-Indonesia. Dan juga, somehow, penyampaian konten dan materinya jadi lebih mengena karena orang situnya asli yang ngasih tau.
Unik juga di materi yang di-deliver­ oleh naratornya itu. Biasanya kan kalau acara sejenis lebih fokus menonjolkan keindahan alam di daerah tersebut, atau mungkin kadang budayanya juga sih. Tapi kalau di acara ini, yang saya perhatikan, sering banget yang diangkat itu bukan cerita-cerita yang pada umumnya sudah diketahui orang banyak. Contohnya pengolahan gula, kopi, bahkan sampai produksi shuttlecock yang ternyata mendunia (daerahnya daerah tempat saya praktik lapang, sebelumnya saya nggak pernah tau kalau daerah ini memproduksi shuttlecock).
Unik berikutnya adalah teknik pengambilan gambarnya. Saya bukan orang yang ngerti kamera, videografi, dan sebagainya, tapi saya sering banget terkagum-kagum sama sudut pengambilan gambar acara ini. Saya sering membahas ini sama adik saya, dia juga setuju. Kami ngerasa sudut pengambilan gambarnya kece banget, beda sama acara lain. Contohnya waktu episode yang menayangkan stingless jellyfish. Aah itu saya gemes banget sama ubur-uburnya, gemes banget banget! Di lain kesempatan saya pernah juga nonton acara sejenis yang meliput si ubur-ubur ini, adik saya nonton juga. Kami langsung komentar, kok perasaan beda ya, liat tayangan yang ini nggak bikin gemes gitu haha.
Selain unik, gegara acara ini saya juga jadi tau, banyak kok di luar sana orang-orang yang setia mempertahankan budaya daerahnya. Dan saya SALUT banget sama mereka. Dari ujung paling barat sampai ujung paling timur, selalu ada mereka yang melakukan pelestarian budaya daerah mereka dengan sepenuh hati. Dari yang belajar tarian daerah yang sulit sampai yang berbahaya, yang pakai topeng seberat hampir 50kg (nggak paham sama yang ini kuat banget), juga para sesepuh atau juga sama keluarganya yang konsisten menjaga warisan-warisan budaya daerahnya – golek, senjata tradisional, topeng reog, kain tenun, alat musik tradisional, dan sebagainya. Bukan cuma menjaga, tapi konsisten menghasilkan karya-karya budaya itu. Keren banget lah.
Saya sih cuma berharap acara ini juga konsisten memberikan pengetahuan-pengetahuan baru yang saya rasa belum banyak orang yang tau, di luar apa yang sudah mereka tau sebelumnya. Semoga lebih banyak lagi cerita-cerita dari pelosok Indonesia ini yang terdengar dan jadi pengetahuan baru buat saya – ya buat penonton yang lain juga tentunya. Baru kali ini rasanya saya suka suatu program di tivi sampai saya tulis di blog kan ya? hehehe. Sebelum terakhir, CMIIW ya kalau ada salah-salah info.
Terakhir, seperti nama acara sekaligus jargonnya, saya mau ikutan ngucapin biarpun nggak masuk tipi haha.



p.s. kalau liat playlist-nya di YouTube, klik link di atas aja :D

0 comments:

@nunnurul. Powered by Blogger.