Saturday, December 12, 2009

Dulukini

"Kiit..." pintu kamarku berderit. Kubaringkan tubuhku di atas kasur biru yang ditutupi selembar kain hijau. Terpikir akan masa laluku, masa di saat aku lebih muda dari sekarang. Dulu aku begitu hidup, begitu menjiwa. Aku bahagia, itulah singkatnya. Aku tak lupa, betapa jarang aku mensyukuri keadaanku waktu itu. Terlena akan kebahagiaan itu, tanpa ingat suatu saat semua itu akan tiba akhirnya.
Sekarang aku ingin pulang, pulang pada masaku itu. Aku bisa jalankan kesukaanku, tulisi garis setapak di antara pepohonan. Rasakan, hhmmm, embusan angin dingin meruntuki wajahku. Hidupku dulu. Sebanyak apapun hujaman jarum masalah, aku bisa lepaskan di sana.
Belum lagi semua senar pembawa senyumku. Mereka sayang padaku seperti aku sayang pada mereka. Mereka mampu membuatku lebih hidup dari hidupku yang sudah hidup. Semilyar canda, seribu duka aku perjuangkan bersama mereka. Pelajaran-pelajaran yang tak kudapatkan saat duduk di atas bangku kayu di depan para pembawa ilmu, kudapatkan dari mereka. Teman-temanku, adik-adikku, kakak-kakakku.
Aku kini telah digundahkan oleh hilangnya dua hidupku.
Alamku tak dapat kusapa lagi. Menyesap bersama absennya aku menjejaki keagungan Tuhanku itu. Teman, adik, dan kakakku, hmm, entah apakah aku yang menjauh dari mereka. Tapi aku berusaha untuk selalu tahu tentang mereka, walaupun pernah satu adikku membuatku bertanya-tanya, "sudah lupa kah mereka padaku?" Tapi lalu kulupakan masalah itu. Mereka orang-orang yang amat sangat beragam, membuat ku belajar, berbagai macam perangai manusia.
Hilanglah kini mereka. Aku kangen hidupku yang dulu, Tuhan.
Meskipun begitu, kini aku pun dapat pelajaran yang lain. Aku telah lebih sadar akan semilyar triliyun pengorbanan orang tua ku untukku. Tak akan lah aku bisa menulis ini tanpa ada suratan dari Tuhan atas kedua manusia luar biasaku.
Dan aku belajar, hidup untuk bersusah agar nantinya seribu senyum dapat terpahat di bibirku. Tempaan yang sering membuatku lembek. Tapi harus ku sirnakan agar muncul nanti senyum-senyum ku itu.
Hidup memang adil, Tuhan. Oh tidak, Kau lah yang Adil. Terima kasih atas semua keseimbangan yang Kau beri padaku. Bahagia dan duka.

0 comments:

@nunnurul. Powered by Blogger.