Akhir-akhir ini gue lagi pundung.
Mengapa? Yah, apalagi lah alasannya kalau bukan iri hehe. Gue baru ngeh, kemarin pas gue naik gunung,
rasanya jarang ada teman gue yang lagi naik juga. nah sekarang, giliran gue
lagi nggak bisa ke mana-mana akibat suatu dan lain hal, kenapa tetiba semua
orang naik gunung? :( Ada yang ke Pangrango lah, ke Papandayan lah, ke Cikuray
lah, ke Merapi lah. Belum lagi yang punya rencana daki ke Semeru, ke Rinjani.
Belum lagi orang-orang yang setahu gue dulu nggak naik gunung, sekarang udah
pada mulai naik gunung. Yaudah, semua aja sana pada naik gunung! *ala pemeran
antagonis* *pundung*
Tapi… Coba kenapa ya seorang Nunu
kok kepikiran buat naik gunung? Gue yakin hampir semua pendaki pasti pernah
merasakan saat-saat ditanya, “Lo ngapain
sih naik gunung? Capek-capek naik terus turun lagi.” Kalau jaman dulu sih
gue diajarinnya, kalau ada yang nanya begitu, jawab aja, “Lo coba aja naik gunung, pasti
bakal tahu jawabannya,” atau kalau udah males banget ditanya begitu mulu,
bilang aja “Ya karena gunungnya ada di situ.”
Jadi, daripada pundung, gue mau
mencurahkan pemikiran dan perasaan gue mengenai naik gunung deh, terutama
alasan gue naik gunung. Musabab pertama gue kepikiran buat naik gunung dahulu
sekali itu akibat melihat foto Bapak gue di puncak gunung Gede tahun 1995, gue
liatnya nggak pas tahun ’95-nya, tapi pas udah SMP. Musabab kedua yaitu gegara
melihat dua gunung yang melingkupi Bogor, dulu sih belum tahu nama gunungnya
apa. Akibat dua hal inilah gue memunculkan rasa ingin tahu akan ‘kerjaan’ yang
namanya naik gunung / munggah / daki gunung / apapun istilah yang dipakai
orang-orang. Akibat dua hal ini pula gue sok-sokan ikut ekskul penggiat alam.
Nah itu jaman dulu, waktu masih
polos, masih lugu, masih muda, masih hedonis, dan lebih aimless. Sekarang, naik gunung buat gue punya banyak makna.
Beberapa pendakian terakhir ini,
terutama yang lumayan jauh-jauh, gue somehow
merasa semacam terpanggil untuk mendaki, semacam panggilan hati, di luar
memang ingin juga. Gue merasa inilah waktu yang memang ‘disediakan’ buat gue
untuk mendaki, setelah sempat vakum naik gunung. Istilah lainnya mungkin, saat
itu lah memang ‘jodoh’nya gue, rejekinya gue. Nah, entah kenapa merasa
terpanggil aja gitu, merasa disuruh ke sana, jadi nggak ada ceritanya gue naik
gunung karena ingin dianggap keren, ingin kaya orang lain, ingin menaklukan
alam, ingin menunjukkan kalau gue begini, kalau gue begitu. NOPE.
Mendaki, buat gue dan menurut
gue, juga merupakan salah satu cara gue bersyukur sama Allah. Bersyukur karena
diberikan badan sehat yang sempurna, bersyukur karena diberikan alam yang luar
biasa banget indahnya, bersyukur diberikan kesempatan dan waktu untuk melihat
alam Indonesia yang gue nggak pernah tahu sebelum gue kenal Rinjani, bersyukur
karena diberikan rejeki, dan setrilyun rasa syukur lainnya. Bener-bener ‘Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’.
Mendaki buat gue juga adalah sebuah bentuk
pendidikan, langsung oleh guru alam. Alam mengajarkan kita akan keseimbangan. Alam
mengajarkan kita untuk mengenalinya dan hidup berdampingan dengannya. Alam
mengajarkan kita untuk selalu waspada. Alam mengajarkan kita untuk selalu
bersyukur. Alam mengajarkan kita untuk selalu berjuang. Alam menyadarkan kita
akan kelemahan-kelemahan kita. Alam menyadarkan kita akan kekuatan-kekuatan
kita. Alam membuka pandangan kita. Masih banyak jam pelajaran lain yang akan
kita dapatkan, dengan berguru pada alam, lewat kelas-kelas mendaki.
Satu lagi yang bikin gue merasa
naik gunung itu pengalaman yang luar biasa; shalat di ketinggian. Gue masih suka ketinggalan shalatnya, tapi shalat di
gunung itu bener-bener amazingly subhanallah banget. Melawan air dingin buat wudhu, berjalan jauh
buat dapat air wudhu (dan berusaha nggak flatus
sewaktu jalan balik), mengeruk debu buat tayamum, menahan angin yang selalu
siap menerbangkan mukena setiap saat. Shalat di pinggir danau yang di
tengah-tengahnya ada gunung yang masih aktif, shalat di tanah tertinggi Jawa,
shalat di tanah miring, shalat di antara bebatuan tanpa vegetasi tersisa,
shalat di tepi jurang, shalat di atas kerikil-kerikil menyakitkan. Gue nggak
bisa menjelaskan rasanya seperti apa. You
have to feel it by yourselves, really.
Itu di antaranya alasan-alasan kenapa gue naik
gunung. Mungkin nggak semuanya juga gue, tapi hal-hal di atas inilah yang bikin
gue ketagihan banget naik gunung, hampa kalau belum naik gunung, dan full-battery sepulang naik gunung.
Nah, gue berusaha adil, sesuatu itu memiliki
sisi baik dan sisi buruknya, manusia juga begitu. What I can tell you about mountaineering in different perspective?
Pasti ada, jelas ada. Yah, kalau menurut gue sih, kembali ke orangnya aja,
seharusnya bisa diantisipasi dan jangan ter-le-na. *curhat*
Semoga secepatnya gue bisa naik gunung lagi,
aamiin. *ngarep pisan* *liat dompet* *makin ngarep*
Last words, bukan wiseword, cuma membuat kalimat dari apa yang pernah gue alami.
When you feel so tired but you still have to
walk and you do keep walking; you’ll get your best peak :)
4 comments:
Yeah, so do I... very very envy... however..... :'(
Aaa we'll have our other peaks again darl! Dont stop believing *tsaah* :D
Agree! Dan satu alasan kenapa gue main ke alam: memanusiakan diri kembali. Kelamaan di kota bisa mengikis kemanusiaan manusia. ;)
Yep, menemukan jalan pulang untuk kembali menjadi manusia :)
Post a Comment